00:08

RCTI Online | RCTI Live Streaming

Reviewer: Dedi Suparman - ItemReviewed: RCTI Online | RCTI Live Streaming

Kamis, 20 Januari 2011

7 KUNCI KEADILAN DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA

Oleh DR. Abdullah Al Qarni

Dituturkan oleh M. Syu’aib Al Faiz Lc., M.Si.

Pada tanggal 28 juli 2008, setelah mengkhatamkan kitab al Iman karya Imam Abu Ubaid, Syaikh Abdullah al – Qarni menyampaikan materi berjudul Kaidah-kaidah Penting Dalam Menyikapi Khilaf . Karena materi begitu panjang maka khususnya kaidah pertama, kelima, keenam dan ketujuh saya ringkas, tidak saya suguhkan selengkapnya. Beliau mengatakan :
Saudara-saudara yang mulia, ini adalah kaidah-kaidah penting dalam menyikapi khilaf . Tidak diragukan lagi bahwa khilaf (perbedaan dan perselisihan) itu pasti ada, bahkan tidak masuk akal jika menghilangkan secara total. Oleh karena itu yang harus diupayakan adalah mengenal bagaimana kita berkhilaf . Saya ingin menyampaikan sejumlah kaidah yang harus diperhatikan saat terjadi khilaf , dan harus diperhatikan saat menghukumi orang yang berseberangan dengan kita, karena hukum asal dalam menghukumi orang yang berseberangan adalah dengan ilmu dan keadilan. Kaidah-kaidah ini sangat penting bagi seorang da’i. Jika ia tidak memperhatikan satu diantaranya maka akan mengakibatkan ketimpangan dalam berdakwah. Dan inilah yang terjadi sekarang ini. Banyak sekali kesalahan (kerusakan) disebabkan oleh ketidakfahaman mereka terhadap kaidah-kaidah ini, juga kaidah-kadiah yang lain. Kaidah-kaidah ini sangat penting, dan mungkin juga menyebutkan kaidah yang lain, tetapi majelis kita ini terbatas waktunya.

KAIDAH PERTAMA: MEMBEDAKAN ANTARA MANHAJ AHLU SUNNAH DAN MANHAJ-MANHAJ YANG LAIN.
Ini teramat penting, sebab jika tidak memahami perbedaan antara manhaj ahlu sunnah dan manhaj ahli bid’ah maka hukumnya terhadap orang yang menyalahinya akan kacau.
Manhaj ahlu sunnah bersandar pada dua dasar:
1. Taslim (pasrah menerima) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi sesuai dengan petunjuk salaf shalih.
Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. “ (QS. An-Nisa)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
Setiap muslim harus menerima setiap firman Allah SWT atau sabda Nabi SAW tanpa syarat atau batasan.
Berbeda dengan ahli bid’ah yang taslim mereka kepada Al Qur’an dan sunnah dibatasi dengan sebuah batasan. Saya sebutkan dua contoh :
Contoh pertama : manhaj mutakallimin (ahli kalam, termasuk ahli filsafat) secara umum. Mereka membatasi taslim mereka kepada nash (al Qur’an dan sunnah) dengan muwafaqatul aql (kesesuaian dengan ajal –maksudnya akal mereka- ). Mereka menghira atau mengklaim adanya kontradiksi antara akal dan wahyu, kemudian mereka berusaha untuk mengkompromikan antara keduanya. Jadi mereka itu pertama kali mengklaim adanya kontradiksi antara akal dan wahyu, keduanya mendahulukan akal atas wahyu pada saat terjadi kontradiksi yang diklaim tersebut. Kemudian ketiga mengikuti metode takwil atau tafwidh dalam memehami nash. Takwil adalah memalingkan satu lafazh atau kalimat dari maknanya yang nyata kepada makna yang jauh karena adanya indikator yang menunjukkan hal tersebut. Sedang tafwidh adalah klaim bahwa nash atau lafazh tertentu tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allah.
Intinya manhaj mutakallimin membatasi konsep taslim dengan kemungkinan akal. Sebuah manhaj yang bertentangan dengan manhaj ahlu sunnah wal jama’ah.
Contoh kedua : Manhaj Mutashawwifah (ahli tasawwuf) yang mengklaim bahwa tidak mungkin membedakan antara yang hak dan yang batil kecuali melalui jalur kasyaf (tersingkapnya tabir ghaib) dan wijdan (pengalaman spiritual) yang mereka klaim sebagai hukum asal dalam hal ini. Jika ada nash bertentangan dengan kasyaf mereka maka mereka menakwil nash tersebut sampai berkesusaian dengan kasyaf yang diklaim .
Abu Hamid al Ghazali dalam kitab al ihya menyebutkan kaidah dalam bab ini. Dia menyebutkan bahwa manusia bimbang dalam menyikapi ayat-ayat sifat ini. Di antara mereka ada yang keterlaluan (dalam pengingkaran) seperti para filosof. Dan di antara meeka ada yang keras (jumud dalam menetapkan) seperti hanabilah (para pengikur imam Ahmad). Yang tengah-tengah dan proporsional dalam hal lini adalah memperhatikan kasyaf , maka apa saja yang sesuai dengan kasyaf diterima dan yang menyalahi ditolak.
Dengan demikian menurut ahli tasawwuf bisa saja nash itu bertentangan dengan kasyaf , kemudian mendahulukan kasyaf atas nash. Jadi konsep taslim mereka tidak mutlak melainkan dibatasi dengan kasyaf . Kemudian mereka terpecah-pecah menjadi banyak tarikat yang satu sama lain tidak sama mengikuti syaikh masing-masing. Anehnya masing – masing mengaku mempunyai kasyaf yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. Maka perselisihan mereka, perbedaan mereka dan berbilangnya mereka menjadi dalil yang paling nyata yang menunjukkan bahwa kasyaf yang mereka klaim itu batil tidak ada dasarnya, karena kebenaran tidak berbilang dalam tarikat ini, dan bahwasanya mereka belum sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Bahkan ironisnya masalah ini sampai berkembang kepada keyakinan bahwa orang yang tidak memiliki tarikat sufi tidak boleh diambil ilmunya sama sekali.
Saya teringat , saya pernah mengisi acara di Malaysia tentang manhaj ahlu sunnah dan sikap terhadap beberapa masalah, tiba-tiba seseorang pernah bertanya : Di kalangan kami ada orang yang mengatakan bahwa seorang ulama jika tidak memiliki tarikat sufi maka ilmunya tidak bisa dipercaya dan tidak boleh diambil ilmunya. Maka saya katakaN kepada mereka : “Kalian kaum muslimin di Malaysia mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimanullah, lalu tarekat apa yang diikuti oleh imam syafi’I , dan siapa guru tarikat beliau? Beliau memiliki tarikat syufi atau tidak?” Mereka menjawab : “Tidak.” Saya katakana : “ Kalau begitu berarti ilmu Imam Syafi’i tidak bisa dipercaya karena tidak memiliki tarikat. Lalu mengapa kalian mengikuti madzhab Imam yang tidak memiliki tarekat sufi?” Mereka akhirnya mengatakan : “ Ya, ini benar. “
Kembali ke inti masalah, jika dikatakan bahwa taslim itu tidak mungkin dapat dibedakan karena tidak baku maka kita katakan: Ada pembeda yang dapat dipakai untuk membedakan orang yang mengikuti manhaj ahlu sunnah dan orang yang mengikuti manhaj ahli bid’ah, yaitu memperhatikan petunjuk salaf shalih dari kalangan sahabat dan tabi’in. Maka barangsiapa keyakinannya sesuai dengan salaf shalih dan manhajnya sesuai dengan petunjuk salaf shalih maka orang itu adalah ahlu sunnah yang bermanhaj taslim terhadap nash. Jika ia menyalahi salaf shalih maka ia telah keluar dari manhaj mereka.
1.
Memperhatikan Ijma’.
Barang siapa ucapannya menyalahi ijma’ maka pasti sesat, tidak mungkin sesuai dengan ahli sunnah karena ijma’ ini adalah ijma’ mu’tabar (yang legal) yang dengannya dapat terwujud sifat jama’ah yang tersebut dalam hadits Nabi saw tentang firqah najiyah (golongan yang selamat) bahwa mereka adalah al jama’ah.
Imam syafi’I rahimanullah dalam kitabnya ar Risalah telah menetapkan makna ini yaitu bahwa ijma’ yang dimaksud adalah al ijtima’ (bersatu) diatas apa yang telah disepakati. Hal ini juga disebutkan kemudian oleh ibnu taimiah rahimanullah daN imam syathibi rahimanullah dalam al I’tisham, dan bahwa jama’ah makna dan hakikatnya adalah muwafaqatul ijma’ (sesuai dengan ijma’ salaf shalih).
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa : Barangsiapa memiliki manhaj yang digunakan untuk membatasi konsep taslim kepada nash dan dengan manhaj itu Ia menyalahi petunjuk salaf shalih maka ia telah keluar dari ahlu sunnah wal jama’ah. Barangsiapa menyalahi ijma’ yang mu’tabar maka pasti ia keluar dari ahlu sunnah wal jama’ah. Maka ahlu sunnah adalah mereka yang merealisasikan dua sifat ini yaitu taslim kepada nash dan memperhatikan ijma’.
Banyak orang tidak memperhatikan kaidah ini, sehingga banyak terjadi orang menghukumi sebagian orang yang berselisih dengannya dari orang-orang yang semanhaj yaitu manhaj ahlu sunnah, sebagaimana ia manghukumi ahli bid’ah. Ini adalah kezaliman dan aniaya.

KAIDAH KEDUA : MEMBEDAKAN ANTARA KHILAF MU’TABAR (yang dibolehkan) DAN KHILAF GHAIR MU’TABAR (yang tidak dibolehkan)
Jika kita telah mengetahui manhaj ahlu sunnah seperti ada pada kaidah pertama yaitu memperhatikan ijma’, maka perselisihan apa saja setelah itu adalah termasuk khilaf mu’tabar , artinya khilaf dalam masalah-masalah fiqih atau masalah-masalah yang terjadi di antara para ulama pada zaman dahulu, maka ini semua adalah khilaf mu’tabar.
Adapun khilaf dalam masalah-masalah ijma’ maka ini khilaf ghair mu’tabar. Misalnya masalah bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan, ini adalah masalah ijma’, jika ada orang yang menyalahinya maka khilaf tidak mu’tabar, tidak perlu dilihat tapi langsung dibantah. Jika kita mengetahui ini maka kita mengetahui bahwa kebanyakan hukum sebagian manusia terhadap sebagian yang lain pada hari ini, yang diikuti oleh sikap hajr dan tahdzir adalah sesat dan bid’ah, karena masih dalam wilayah khilaf mu’tabar. Tentu ini adalah kezhaliman, karena menghukumi khilaf iyah seperti masalah ijma’iyyah.
Para imam kita dahulu mengalami banyak khilaf di antara sesama mereka tetapi kasih saying dan kecintaan masih terjalin erat diantara mereka, hingga imam ahmad rahimanullah berkata tentang Imam Syafi’i rahimanullah –meski ada masalah-masalah yang mereka berselisih tentangnya-: “Sesungguhnya beliau itu seperti matahari bagi dunia dan bagaikan keehatan bagi badan.”
Imam Syafi’i rahimanullah berkata tentang imam Malik rahimanullah. “Jika disebut para ulama maka Malik adalah bintang.”
Mereka saling memuji dan saling mengambil manfaat. Ini adalah manhaj para ulama Rabbaniyyin yang dalam hati mereka tidak ada hasad dan dengki, bahkan yang berharap agar kebenaran muncul dari temannya atau lawan debatnya. Imam Syafi’I rahimanullah berkata : “Saya tidak pernah mendebat seseorang melainkan saya berharap agar kebenaran meluncur dari lisan lawan saya.” Ini karena keikhlasan dan benarnya niat mereka yaitu sampai kepada kebenaran, bukan menang-menangan. Jika kalian ingin mengetahui kondisi umat sekarang atau thalibul ilmi hari ini maka bandingkan antara dua kelompok ini, antar manhaj yang didominasi oleh karakter bantah-bantahan, keras dan kaku hari ini dengan manhaj para ulama terdahulu yang berdiri di atas dasar lembut dan kasih sayang dalam masalah-masalah yang memang menerima khilaf.

KAIDAH KETIGA : MENGHUKUMI SESEORANG ITU SEBAGAI AHLI SUNNAH SESUNGGUHNYA MELIHAT KEPADA MANHAJ YANG IA IKUTI.
Jika manhajnya adalah seperti yang diterangkan di atas, berdiri atas taslim kepada nash sesuai dengan petunjuk salaf dan tidak menyalahi ikma’ maka ia termasuk ahli sunnah. Akan tetapi jika ia berbuat salah dan berkata dengan perkataan uang sesuai dengan ucapan ahli bid’ah karena adanya syubhat, apakah ia keluar dari ahlu sunnah dan menjadi ahli bid’ah? Tidak, karena kita melihat kepada manhajnya. Saya sebutkan dua contoh:
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimanullah manhajnya adalah manhaj ahlu sunnah, dia memiliki sikap yang nyata terhadap Asy’ariyyah di dalam Fathul Barii , namun demikian di sebagian masalah dia saman dengan Asy’ariyyah karena terpengaruh dengan sebagian guru-gurunya. Apakah dengan demikian dia keluar dari sunnah dan termasuk golongan ahli bid’ah? Tidak. Karena kita harus melihat kepada manhaj yang dia ridhai yaitu manhaj ahli sunnah. Dan menjadi ahli sunnah tidak berarti ma’shum (bebas dari salah), bahkan bisa mengatakan sesuatu yang cocok dengan ahli bid’ah tanpa mengikuti manhaj ahli bid’ah tersebut.
Begitu pula Imam Nawawi rahimanullah sebagaimana yang sudah saya terangkan, manhaj beliau adalah manhaj ahli hadits akan tetapi terjadi takwil-takwil dari beliau sesuai dengan manhaj Asy’ariyyah tanpa mengikuti manhaj mereka. Beliau tidak dikatakan sebagai seorang asy’ari, melainkan ahli sunnah. Namun kita tidak mengikuti kesalahannya. Hari ini kita telah membaca ucapa Imam Abu Ubaid rahimanullah tentan Sufyan ibn Uyainah ketika beliau menyebut hadits-hadits yang ada kata-kata “Laisa minna” kata abu Ubaid: “Meskipun beliau termasuk para imam ilmu dan agama namun yang beliau ucapkan di sini adalah salah tidak diterima .” Ini adalah manhaj para ahli ilmu. Mereka tidak mengeluarkan seorang alim, seorang da’i dan seorang penuntut ilmu dari ahli sunnah hanya karena salah dalam satu masalah.
.
KAIDAH KEEMPAT : MEMBAWA UCAPAN SEORANG ALIM KEPADA KEBIASAANNYA
Jika ditemukan ucapa seorang alim yang membuatmu sulit memahami dan menerima maka lihatlah kepada keseluruhan ucapannya, jangan mencabut satu kata ini kemudian digunakan untuk menghukuminya. Karena manhaj ahlu sunnah ketika menghukumi orang yang berseberangan berusaha keras untuk tidak menzhaliminya, karena karakater ahlu sunnah adalah membangun hukum diatas ilmu dan keadilan. Sedangkan manhaj ahli bid’ah adalah tergesa-gesa dalam mengeluarkan vonis hukum dan mengambil satu kata tersebut tanpa melihat ucapan yang lain sebagaimana yang saya sebutkan tentang ucapa n Hafizh ibnu Rajab rahimanullah dalam mensyarah hadits Jahannamimiyyin, yang sangat mungkin ada orang mengambil ucapan itu saja tanpa melihat ucapan-ucapan ibnu Rajab rahimanullah di tempat yang lain. Begitu pula seperti ucapan ibnu Taimiah rahimanullah dalam bab iman, mungkin ada orang yang musykil (problematic) kemudian dijadikan sandaran dan melupakan teks-teks yang jelas.
Dalam bab ini ibnu Taimiayah rahimanullah berkata: “Ucapan seorang alim itu harus ditafsiri dengan ucapannya yang lain. Ucapannya diambil dari sini, dari sini, dan diketahui kebiasaannya, maksudnya apa yang dia maksud dengan ucapannya ini jika dia mengatakannya. “
Banyak sekarang ini para da’i atau penuntut ilmu yang terjatuh dalam kesalahan ini. Mereka saling mencibir dan menyerang, padahal seandainya mereka mengetahui kebiasaannya tentu mereka mengetahui bahwa makna yang mereka tuduhkan itu tidak pernah dimaksud oleh orang alim tersebut, akan tetapi ia memaksudkan makna yang lain.

KAIDAH KELIMA : KESALAHAN SEDIKIT DARI SEORANG ALIM TERKUBUR DISAMPING KEBENARANNYA YANG BANYAK.
Jika ada alim yang berada di atas manhaj ahlu sunnah, ia dikenal dengannya, membela dan memperjuangkannya kemudian melakukan kesalahan dalam masalah parsial, maka manhaj yang adil mengatakan kesalahannya yang sedikit terampuni karena kebenarannya yang banyak.
Sa’id ibnul Musayyib rahimanullah berkata : “Tidak ada satu orang alim, atau orang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan kecuali padanya ada aib. Maka barangsiapa keutamaannya lebih banyak, lenyaplah kekurangannya karena keutamaannya.”
Jadi hukum asal yang dilihat adalah kondisi yang umum bukan mencari-cari masalah yang ia salah di dalamnya.
Imam Dzahabi rahimanullah memiliki ucapan yang hebat ketika menyebut biografi Muhammad ibn Nashr al Marwazi rahimanullah :
Di sana dia mengatakan : “Seandainya setiap kali ada imam salah dalam ijtihadnya dalam satuan masalah dengan kesalahan yang diampuni lalu kita serang dan kita hajr (boikot) dan kita bid’ahkan niscaya tidak akan selamat seorangpun, tidak ibnu Nashr, tidak pula Ibnu Mandah, tidak pula orang yang lebih besar dari keduanya. Allahlah yang memberi petunjuk manusia kepada kebenaran dan Dia Maha Kasih Sayang. “
Juga ketika menyebut kesalahan Ibnu Khuzaimah rahimanullah dalam hadits shurah (hadits yang menyebut rupa Allah) Adz Dzahabi rahimanullah berkata : “seandainya orang yang salah dalam ijtihadnya bersamaan dengan benarnya keimamahan dan keseriusannya dalam mengikuti yang hak itu kita hajr (boikot) dan kita bid’ahkan niscaya sedikit sekali para imam yang bersama kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia dan kemurahanNya.”
Abdullah ibnul Mubarak rahimanullah membedakan antara manhaj ahli sunnah yang hak dan manhaj non ahli sunnah yang menyimpan, dia berkata : “Orang mukmin itu selalu mencari alasan untuk dapat memaklumi, sementara orang munafik itu selalu mencari-cari kesalahan.”

KAIDAH KEENAM : KHILAF ANTARA PARA ULAMA TIDAK MENGHARUSKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN DAN KASIH SAYANG.
Jika kita renungkan manhaj para ahli fiqih, ambil misalnya kitab al Majmu’ milik an Nawawi rahimanullah atau al Mughni milik ibnu Qudamah rahimanullah maka kita dapati bahwa mereka menyebutkan ucapan-ucapan ulama yang berseberangan dengan penuh penghormatan, tidak ada penghinaan dan kezhaliman. Mereka hanya menjelaskan kebenaran dengan dalilnya. Jika ada khilaf lantas engkau mengambil sikap keras terhadap orang lain. Bahkan engkau harus ingat bahwa kezhalimanmu kepada orang lain akan dihisab oleh Allah SWT.
Diantara para sahabat terjadi khilaf tetapi mereka saling menghormati bukan saling membantah dan menuduh serta mentahdzir dari yang lain.
Sebagian orang tidak bisa menerima khilaf sedikitpun, dadanya sempit jika ada khilaf , maka ini kembali kepada kejiwaannya. Jika engkau termasuk orang yang sempit dada jika ada khilaf maka latihlah untuk berlapang dada, dan tabah terhadap adanya khilaf dalam perkara-perkara yang memang menerima khilaf .
Perhatikan manhaj Imam Syafi’i rahimanullah yang agung. Yusuf al Shadafi berkata tentang Imam Syafi’i , “Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih berakal ketimbang imam Syafi’i. Pada suatu hari saya berdebat dengan beliau dalam satu masalah kemudian kami berpisah (dengan beda titik temu). Kemudian beliau bertemu saya lalu mengambil tangan saya kemudian berkata : “Wahai Abu Musa bukankah layak jika kita menjadi saudara meski tidak sepakat dalam satu masalah?” Perhatikan dan ikutilah manhaj yang agung dari imam yang agung ini.
Beliau adalah imam dalam manhaj; manhaj bermuamalah dengan orang yang berseberangan.
Ibnu Taimiah rahimanullah berkata : “Para sahabat, para tabi’in dan para ulama sesudahnya jika mereka berselisih dalam satu masalah mereka mengikuti firman Allah rahimanullah yang artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa : 59) Mereka berdebat dalam masalah ilmiyah (aqidah) dan amaliyah (fiqih) dengan tetap menjaga adanya saling menghormati, kasih sayang dan persaudaraan dalam agama. Memang, barang siapa yang menyalahi al Qur’an yang nyata, sunnah yang jelas atau apa yang telah disepakati oleh salaful ummah dengan khilaf yang tidak bisa diterima maka orang ini diperlakukan seperti ahli bid’ah.”
Perhatikan syarat yang ditetapkan ibnu Taimiyah rahimanullah yaitu :
1) Menyalahi perkara nyata dalam al Qur’an
2) Menyalahi perkara nyata dalam sunnah
3) Menyalahi ijma’ salaf yang nyata
4) Dengan khilaf yang tidak bisa diterima, tidak ada syubhat di dalamnya. Maka orang yang seperti ini diperlakukan seperti ahli bid’ah.

KAIDAH KETUJUH : TATSABBUT (MENGECEK KEBENARAN) DALAM BERITA YANG DISIARKAN TENTANG AHLI ILMU DAN DAKWAH DAN WASPADA JANGAN SAMPAI GHIBAH TERHADAP MEREKA
Banyak sekali yang diisukan tentang ulama, du’at dan thullabul ‘ilm ternyata termasuk jenis ghibah yang diperingatkan oleh Nabi Saw. Ketika ada yang berkata : “Bagaimana jika yang saya ucapkan itu benar.” Maka Nabi Saw menjawab : “Jika yang kamu ucapkan itu benar maka kamu telah menggunjingnya (ghibah), dan jika ternyata tidak benar maka kamu telah memfitnahnya.”
Orang yang membicarakan para ulama, du’at dan thullab ilm, hendaklah mengingat dirinya berada di antara dosa ghibah dan fitnah.
Takutlah kepada Allah ketika kamu membicarakan saudaramu semanhaj seaqidah, apakah kira-kira dirimu menerima seperti itu jika ada orang yang membicarakanmu? Bedakanlah antara nasehat dan ghibah, karena banyak yang tidak membedakan.
Rasul Saw bersabda : “(Ghibah adalah) kamu menyebut tentang saudaramu apa yang ia tidak suka.” (HR Muslim)
Allah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. “ (QS. Al Hujurat : 12)
Takutlah, takutlah dari ghibah apalagi fitnah: “Dan orang –orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. “ (QS. Al Ahzab 58)
Syaikh Syinqithi rahimanullah penulis Adhwaul Bayan tidak menerima ucapan mengenai orang tertentu yang tidak hadir di majlisnya. Jika ada yang melakukan beliau langsung menyuruhnya diam, tidak mau mendengar sama sekali, karena memang hukum asalnya dalam masalah ini adalah ghibah, membicarakan orang lain adalah ghibah. Tidak bisa membedakan antara nasehat dan ghibah kecuali ahli khasyyah dan takwa.
Hasan Basri rahimanullah berkata : “Orang mukmin itu banyak diam (berhenti) sampai perkaranya menjadi jelas.”
Jangan menghukumi atas dasar zhan (persangkaan), perhatikan dirimu sekarang menghukumi orang, ini adalah kehormatan, sebagaimana darah itu haram maka kehormatan juga haram sebagaimana yang kalian ketahui. Janganlah kalian berbuat buruk kepada umat ini, sementara Nabi Saw telah bersabda : “Cukuplah kedustaan seseorang jika ia menceriatakan setiap apa yang ia dengar.“ (HR. Muslim)
Ingat, hukum asal membicarakan orang adalah ghibah. Jadilah muslim sejati.
“Seorang muslim (yang sejati) adalah yang kaum muslimin lain) selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari Muslim)
Pegangilah sunnah Khalifah al Rasyid Umar al Faruq : “Jangan menyangka buruk terhadap kata yang keluar dari mulut saudaramu selama kamu dapat membawanya kepada makna yang baik.”
Hati-hati dalam menerima ucapan ulama yang mencela atau menilai buruk ulama lain karena kaidahnya seperti yang dikatakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah adalah : “Ucapan ulama terhadap ulama sezaman dan setingkat dengannya adalah dilipat tidak disebarkan, apalagi kalau ada indikasi unsur hasad, atau persaingan, dan fanatik madzhab.”
Tetaplah pada manhaj orang-orang yang bertakwa yaitu keadilan. Allah berfirman yang artinya : “… dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.. “(QS. Al Maidah 8).

sumber: majalah qiblati
www.qiblati.com


Semoga bermanfaat bagi anda ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



CO.CC:Free Domain